Tersebutlah seorang lelaki yang telah melakukan perjalanan jauh.
Rambutnya kusut masai penuh debu. Ia berjalan tertatih-tatih dengan
membawa sebuntal pakaian dan bekal di pundaknya.
Setelah sekian lama berjalan, ia berhenti. Matanya memandang ke
langit. Ia teringat Tuhannya. Seketika itu pula tangannya menengadah.
“Ya Rabb aku minta pertolonganmu. Ya Rabb aku minta rahmat dan kasihmu.
Ya Rabb aku minta keselamatan dari-Mu”, pintanya berulang-ulang. Ia
tampak khusyu berdoa.
Diterimakah doanya? Seorang lelaki mulia berujar, “Sesungguhnya Allah
menolak doa lelaki malang itu. Bagaimana doanya akan terkabul, sedang
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya
dikenyangkan dengan makanan haram!”・
Lelaki yang berkomentar tersebut adalah Rasulullah SAW. Sedangkan
kisah ini berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatakan Imam Muslim dalam
Shahih-nya.
Ya, makanan haram multi efek sifatnya. Ada banyak kerugian yang akan
diderita seseorang yang menyengajakan diri mengonsumsinya. Salah satu
siksaan yang Allah SWT timpakan adalah tidak diterimanya doa-doa mereka.
Padahal, tanpa doa seorang Muslim tidak ada apa-apanya. Bukankan doa
adalah senjata orang-orang beriman?
Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas
bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah,
doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”.
Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu
(makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang
selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh
jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya,
maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba
yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak
baginya.” (HR At-Thabrani).
Memahami mekanisme PNI
Untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana makanan haram bisa
menghalangi terkabulnya doa-doa, kita bisa menelaah mekanisme psiko
neuroendokrinologi imunologi (PNI) atau sistem yang melibatkan pikiran,
hormon dan sistem pertahanan tubuh.
Makanan haram adalah sesuatu yang dilarang Allah. Dalilnya sudah
sangat jelas. Bila aturan ini dilanggar dan makanan haram tetap
dikonsumsi, maka akan lahir rasa tertekan dan ketakutan dari orang yang
mengonsumsinya. Dalam jangka panjang, ketakutan akan menghasilkan
kecemasan kronis. Dalam kondisi ini tubuh akan memproduksi hormon
kortisol, skotofobin, dan adrenalin dalam jumlah yang berlebihan. Apa
akibatnya? Seluruh sel tubuh akan terganggu bioritme-nya. Dengan kata
lain, akan terganggu proses bertasbihnya. Kita tahu bahwa setiap sel
yang terdiri dari atom dan partikel sub atomik senantiasa bertasbih dan
ber-thawaf mengikuti ketentuan-Nya. Kondisi ketergangguan ini akan
berdampak pada perubahan proses metabolisme dan proses biokimiawi
lainnya. Akibatnya banyak potensi dasar biologis terhambat.
Ketika berdoa, seseorang yang kondisi wujud fisik dan psikologis
sedang tidak optimal ini, akan didominasi rasa takut yang berlebihan.
Apa akibatnya? Doa yang dipanjatkannya menjadi sarat akan kepentingan
sesaat dan egois. Ia pun dihantui dengan ketidakyakinan dan rasa takut
berlebihan bahwa doanya tidak akan terkabul. Jadi sudah terjadi proses
prasangka atau su’udhzon kepada Allah SWT. Padahal, dalam hadis qudsi
disebutkan. “Sesungguhnya Aku akan mengikuti persangkaan hamba-Ku
kepada-Ku. Dan Aku selalu menyertainya apabila ia berdoa kepada-Ku.” (HR
Bukhari Muslim)
Dalam hadis lain disabdakan pula, “Dan jika kamu memohon kepada Allah
Azza wa Jalla, wahai manusia, mohonlah langsung ke hadirat-Nya dengan
keyakinan yang penuh bahwa doamu akan dikabulkan. Sesungguhnya Allah
tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang keluar dari hati yang lala.” (HR
Ahmad). Jadi dapat disimpulkan, ketakutan dan keresahannya itulah yang
menyebabkan doanya tidak tersampaikan dengan sempurna.
Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa mekanisme tobat dapat
memperbaiki kualitas hidup dan keimanan seseorang. Proses tobat adalah
sebuah proses katarsis atau ventilasi yang merupakan “jendela” atau
“pintu” bagi terlepasnya beban psikologis yang ditanggung akibat
perbuatan dosa. Tetapi tentu saja proses tobat keberhasilannya juga
sangat tergantung pada seberapa dalam keyakinan kita tentang konsep
Allah yang Maha Pengampun. Bila kita sudah berprasangka bahwa Allah
tidak akan memaafkan, maka jangan berharap kalau tobat kita akan
melancarkan segalanya. Justeru malah menjadi beban psikologis baru.
Bagaimana dengan orang yang hanya sekedar ragu tentang kehalalan
makanannya? Bila ragu seharusnya dihindari (syubhat). Mengapa? Karena
keraguan itu akan menumbuhkan kecemasan. Dan kecemasan pada gilirannya
akan menghasilkan kondisi chaos. Karena itu, Rasulullah SAW mewasiatkan
agar kita menjauhi hal-hal yang meragukan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, antara
keduanya terdapat hal-hal samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan
orang. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang samar itu, maka ia
telah menjaga agama dan harga dirinya; dan barangsiapa jatuh ke dalam
hal yang samar, maka ia telah jatuh kepada hal yang haram, seperti
penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang, nyaris ia
masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja mempunyai daerah larangan.
Ketahuilah, sesungguhnya daerah larangan Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya.” (HR Bukhari Muslim).
Untuk itu, sebelum kita dihisab di akhirat kelak tentang bagaimana
kita mensyukuri nikmat Allah dalam hal kemampuan berkomunikasi
(al-bayan), maka sebaiknya kita bertanya dan menyelidiki secara intensif
kehalalan suatu produk makanan. Bukankah yang akan diperhitungkan kelak
di hari akhir tidak hanya sekedar dosa yang disengaja saja, melainkan
juga kelalaian kita dalam mencegah terjadinya kemungkaran akan
dipertanyakan dan ditimbang?
***
sumber: republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar