Saya ingin tanya, saya menjelang awal bulan Rajab melaksanakana puasa sunnah awal rajab, dan membaca istigfar "robbigfirli warhammni watub alay'iya" setelah sholat fardhu.
Pertanyaan saya
1. apakah amalan ini amalan yang diajarkan Rasul, dn para shabatnya, sebab saya baca di sebuah artikel Islam bahwa amalan ini adalah Bid'ah karena tdk dasar hadistnya. karena bulan Rajab bulan yg biasa-biasa saja, jadi katanya tidak perlu menambah amalan yg lain.
2. Apakah Hadist Nabi yg berbunyi " Rajab syahrulloh, wa sya'ban syahri wa romadhon syahru ummati " adalah hadist yang palsu . mohon penjelasannya agar hati ini tidak bimbang dengan pernyataan2x ini.
Jawaban :
1. Amalan tersebut teriwayatkan dalam hadits dhoif, namun para ulama kita mengamalkannya dan sepantasnya kita melestarikannya, karena teriwayatkan pula dalam banyak hadits bahwa Rasul saw beristighfar 100 X dalam satu majelis disaksikan/bersama para sahabat dengan ucapan itu namun shighah Jamak. (sunanul Kubra hadits no.10293) dan riwayat ini banyak. Dan pelarangan akan hal itu adalah perbuatan Munkar.
2. Mengenai hadits itu memang dhoif namun masih diakui oleh sebagian ulama syafii, namun mengingkari keutamaan bulan rajab adalah hal yg munkar, karena Rajab adalah salah satu dari bulan haram yg dimuliakan Allah dan rasul Nya.
Apa itu Hadits Dhoif ??
Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin.
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Perkataan Ulama Mengenai Beramal dengan Hadits Dho’if
Ibnu Katsir :
"Dan boleh meriwayatkan (hadits) selain hadis maudhu’ (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram”
Kitab al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
"Mereka (para ahli hadis) telah berijma’ (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha’if (lemah) di dalam fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan)" (Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).
Imam Nawawi :
“Telah kami paparkan kesepakatan para ulama mengenai(bolehnya) beramal dengan hadits dha’if dalam Fadha’il A’mal (keutamaan amalan), bukan halal dan haram.” - Al-Majmu’ (3/226)
“Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha’if dalam hal Fadha’il A’mal.” - Mawahib Al-Jalil (1/17)
Mulla Ali Al-Qari :
“Hadits dha’if itu dijadikan I’tibar dalam Fadha’il A’mal menurut seluruh ulama…” - Al-Ajwibah Al-Fadhilah hal. 36
beliau juga berkata:
الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال اتفاقا
“(Hadits) dhaif diamalkan dalam hal fadhoil (keutamaan) amal secara ittifaq (kesepakatan ulama).”
Ibnu Hajar Al Haitami :
“Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal keutamaan amal, karena seaindainya hadits itu ternyata shahih, maka ia telah memberikan haknya yaitu berupa amal, dan jika tidak, maka beramal dengannya tidak berdampak penghalalan atau pengharaman atau hilangnya hak orang lain.”
“Telah tetap bahwa hadits dhaif, mursal, munqathi’, mu’dhol dan mauquf diamalkan dalam hal keutamaan amal secara ijma’.”
“Jika anda bertanya: hadits tersebut sanadnya dhoif, bagaimana dijadikan hujjah? Maka saya jawab: Yang menjadi ketetapan para imam kita baik dari kalangan Fuqoha, Ushuliyin dan Huffazh yaitu hadits dhoif hujjah dalam hal manaqib (biografi) sebagaimana ia juga hujjah dalam hal keutamaan amal menurut ijma para ulama. Jika telah tetap bahwa ia hujjah dalam hal itu, tidak tersisa lagi syubhat bagi orang yang menentang atau hujatan bagi orang yang hasad. Bahkan wajib bagi setiap orang yang memiliki keahlian mengakui kebenaran ini sesuai kadarnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani :
“Telah tsabit dari Imam Ahmad bin Hanbal dan juga dari selain beliau, bahwa mereka berkata: Apabila kami meriwayatkan tentang masalah Halal dan Haram kami memperketat, dan apabila kami meriwayatkan tentang masalah fadhoil (keutamaan) dan sejenisnya kami mempermudah.” (Al-Qaulul Musaddad halaman 11)
Ibnu Muflih Al-Hanbaliyah :
“Sesuatu yang telah dipastikan oleh lebih dari satu orang yang pernah menulis dalam Ilmu Hadits adalah hikayat dari para ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha’if dalam masalah yang bukan penghalalan atau pengharaman, misalnya fadhoil (keutamaan). Riwayat dari Imam Ahmad juga sesuai dengan itu.” - “Al-Adab Asy-Syar’iyyah”
Syihabuddin Ar-Ramli :
“Al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Zakaria Al-Anbari berkata: sebuah kabar apabila telah datang tanpa mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan tidak mewajibkan suatu hukum, sedangkan di dalamnya terdapat anjuran dan ancaman, maka dibiarkan dan dimudahkan saja periwayatannya.
dan masih banyak lagi. wallahu a'lam
Mari kita memperbanyak shalawat Kepada nabi kita tercinta Muhammad shalallahu alayhi wasallam
0 komentar:
Posting Komentar