Pages

Sabtu, 11 Februari 2017

CINTA AKASIA

 CINTA AKASIA
Oleh : Pangeran

"Berjilbab tidak menghilangkan kecantikan, tetapi justru menjaga kecantikan yang seharusnya dijaga" Ungkap Aisyah.
"Tapi Mbak, nanti kalo aku pake jilbab teman-teman malah bilang sok alim dan mengolok-olok ku. lagi pula sifat dan tingkah lakukan harus dijaga dulu sebelum memakai jilbab, disesuaikan dan itu butuh waktu lama. Nanti saja Mbak pake jilbabnya kalo udah punya suami" ucap Naila sambil tersenyum.
Aisyah menyodorkan tanganya ke arah Naila, tampak di atas kedua tangan nya sebuah Jilbab merah yang indah "Jika kamu berjilbab atau berhijab dan ada orang yang mempermasalahkan akhlaqmu, maka katakan kepada mereka bahwa antara jilbab dan akhlaq adalah dua hal yang berbeda, berjilbab adalah murni perintah Allah, wajib untuk wanita muslim yang telah baligh tanpa memandang akhlaqnya baik atau buruk. Sedangkan akhlaq adalah budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita berjilbab melakukan dosa atau pelanggaran itu bukan karena jilbabnya, tetapi karena akhlaqnya. Yang berjilbab belum tentu berakhlaq mulia, tapi yang berakhlaq mulia sudah pasti berjilbab”.
 “Iya Mbak, akan aku coba. Aku senang banget bisa belajar banyak tentang agama dari Mbak” Ucap Naila sambil tersenyum
“Iya, Naila. Oh iya, Mbak besok pagi akan kembali ke Cairo. Jaga Umi ya. Langsung kasih kabar kalo ada apa-apa. Insya Allah sebulan sekali Mbak akan kasih kabar kerumah”
Nama lengkapnya adalah Aisyah Syahada Aini. Ia kini sedang menempuh S-1 nya di Fakultas Dirasat Islamiyah, Al Azhar University di Cairo. Ini adalah tahun terakhirnya. Beberapa minggu ini Ia harus pulang ke Bengkulu, Indonesia lantaran kondisi Uminya yang tiba-tiba memburuk dan harus dirawat di rumah sakit.
Semenjak wafatnya Abinya tujuh tahun yang lalu, Uminya selalu bekerja keras banting tulang demi menghidupi dan membiayai sekolah Aisyah dan adeknya, Naila. Alhamdulillah, Aisyah mendapatkan beasiswa penuh di Al Azhar di Cairo.
Setelah keadaan Umi membaik, Ia memutuskan untuk kembali ke Cairo.
Dimatanya, Pagi itu kota Cairo terlihat begitu mempesona. Gedung-gedung dan menara-menara yang tertata indah membuat Cairo yang dijuluki negeri seribu menara terasa begitu mengagumkan. Beberapa minggu meninggalkan Cairo membuat Ia kembali kagum seperti pertama kali datang untuk mengikuti imtihan qabul atau ujian penerimaan di Al Azhar.
“Man jadda wajada. Siapa yang besungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya.” Gumamnya dalam hatinya. Dengan semangat yang luar biasa, Ia memulai kembali mengerjakan skripsi yang tertunda beberapa minggu lalu karena kepulangannya ke Indonesia. Setiap hari langkah kakinya selalu menuju ke perpustakaan Shalah Kamil, membuka dan menganalisis ratusan referensi yang tersedia. Tidak hanya itu setiap ahad, Ia selalu menyempatkan diri pergi ke Daarut Tauzi untuk membeli beberapa buku dan kitab.
Hari yang ditunggu akhirnya datang. Mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar sudah terlihat sibuk melihat daftar nama yang terpasang di papan pengumuman. Tak sedikit wajah kecewa yang tampak oleh beberapa mahasiswi yang mulai menjauh dari papan pengumuman.
“Aisyah !!!”. “Aisyah !!!” teriak salah satu mahasiswi yang berada dikerumunan.
“Mbak Ellena !!. Assalamualaikum
Waalikumsalam Warohmatulahi Wabarokatuh. Sudah beberapa minggu ini aku tidak melihat wajah ceria Aisyah. Apa kabar Aisyah ?. Bagaimana keadaan Ibu mu ?”
Alhamdulillah baik Mbak El. Sekarang keadaan Umi sudah baik. Umi hanya terlalu kelelahan saja kok”
“Syukurlah kalo begitu. Semangat ya Aisyah, akhirnya proposal skripsimu diterima. Tahun ini harus selesai kuliahnya ya.”
“Benarkah Mbak ?. Mbak tau dari mana ?” matanya mulai terpaku membisu seolah tak percaya dengan apa yang disampaikan Mbak Ellena.
Ia berlarian kecil menuju papan pengumuman yang berada beberapa meter didepannya. Rasa penasaran membuatnya memastikan apa yang didengarnya dari Mbak Ellena. “Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih.” Ia bertasbih. Proposal skripsinya langsung diterima tanpa menunggu waktu yang lama. Hanya satu minggu saja sejak proposal skripsinya itu diajukan.
  Beberapa bulan ini, Ia berusaha keras untuk memperjuangkan skripsinya. Perbaikan demi perbaikan dilakukannya. Berbagai ketakutan-ketakutan yang muncul akhirnya dihadapinya dan perlahan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga akhinya pada minggu depannya, Ia dipanggil untuk melaksanakan sidang.
Ia menjadi salah satu mahasiswi yang tercepat dalam menyelesaikan skripsinya ketahap akhir yaitu sidang. Kerja kerasnya bolak-balik keperpustakaan dan mencari referensi-referensi akhirnya terbayarkan dengan hasil yang sesuai. Gerbang menjadi lulusan Al Azhar akan segera Ia lewati.
Kumandang azan subuh saling bergema dilangit Cairo. Satu persatu menara mesjid mengumandangkan azan seakan memecah hening yang masih tergambar dipelupuk mata Aisyah. Dengan matanya yang masih mengantuk, Ia berusaha bangun dan melaksanakan shalat. Selesai shalat Ia langsung berdiri dan mengusir kantuknya. Ia hampir lupa bahwa hari ini akan menemani Mbak Ellena dan Alesha, salah satu temannya untuk mengelilingi kota Cairo.
Pagi itu mereka memutuskan untuk pergi ke Hadiqah Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr city yang berada di Cairo. Mereka pergi dengan menaiki bus yang mengarah menuju pusat kota. Bus terus berjalan. Aisyah terlihat begitu senang, ini pertama kalinya Ia jalan-jalan keluar mengelilingi Cairo bersama Mbak Ellena dan Alesha.
Assalamualaikum. Maaf, kamu dari Indonesia ya ?“ Ia mendengar suara pelan dari belakangnya.
“Iya benar. kamu juga dari Indonesia?” Jawabnya tenang. Ia menoleh melihat kearah seorang lelaki yang berada dibelakang tempat duduknya. Sekilas Ia merasa takut, karena lelaki yang sedang berbicara dengannya adalah lelaki yang Ia kenal.
“Iya. Maaf, kalau boleh tanya toko buku Dar El Salam itu di mana ya?"
“Sebenarnya, kami juga akan kesana” Jawab Mbak Ellena yang memperhatikan dan mendengar percakapan antara Aisyah dan lelaki itu.
Alhamdulillah, kalau begitu bolehkah aku ikut kesana ?. Hanya sebatas mengatar kan ke Dar El Salam
“Iya, boleh” jawab Mbak Ellena.
Syukran, ya.”
Setelah empat tahun tidak bertemu akhirnya Ia bertemu kembali dengan lelaki yang pernah dikaguminya. Nama lelaki itu Rangga Saputra. Rangga berasal dari Indonesia. Ia mengenal Rangga saat di Madrasah Aliyah. Rangga dikenalnya sebagai lelaki yang jujur, ramah, dan pekerja keras. Tidak seperti dirinya yang datang ke Cairo untuk kuliah, Rangga datang jauh dari IndonesIa hanya untuk bekerja dan membiayai adek perempuannya untuk menempuh S-1 di Alexandria University. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, Rangga menjadi tulang punggung untuk adeknya.
            Setelah pulang dari Hadiqah Dauliyah pikirannya dipenuhi dengan berjuta tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dengannya hari itu. Bayang wajah seseorang yang telah lama tak dilihatnya mulai memenuhi kedipan kedua matanya. Perasaan takut mulai menyetuh hatinya. Ia sangat takut pada kenyataan yang mulai terlukis didalam jiwanya. Ia tau perasaan yang muncul ini tidak layak untuk tumbuh. Bahkan memendamnya juga tak pantas. Betapa takutnya memiliki perasaan yang tidak seharusnya, bahkan setiap langkah nya sekarang Ia selalu terbayang akan wajah Rangga. Kali ini keteguhan hatinya mulai memudar.
Mbak Ellena yang melihat tingkah Aisyah yang sering tersenyum dan bahkan sering hilang fokus saat melakukan sesuatu mulai mencari tau asal penyebabnya , “Asiyah, apa yang sedang terbesit dalam hati dan pikiran mu saat ini ?. Apakah kamu memikirkan lelaki yang bertemu dengan kita di bus saat mengelilingi Cairo ?. Lelaki yang di Dar El Salam ” tebak Mbak Ellena.
            “Iya, Mbak. Entah apa yang sekarang sedang aku lakukan, aku selalu memikirkan tentangnya. Bahkan sekarang, saat shalat aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat berdoa pun aku juga mengingat dirinya. Pokonya setiap aku mau melakukan sesuatu selalu bayang wajahnya muncul didalam pikiranku.” Ucapnya sambil mengambil mushaf yang ada dekat tempat duduknya.
            “Apakah lelaki itu Rangga ?. Lelaki yang pernah Aisyah ceritakan waktu pertama kali datang ke Al Azhar ?”
            Ia hanya mengangguk malu.
"Aisyah, maukah ku beritahukan padamu bagaimana mencintai dengan indah? " ucap Mbak Ellena. “Maka dengarlah. Aisyah, Saat aku jatuh cinta. Tak akan aku berucap. Tak akan aku berkata. Namun aku hanya akan diam. Saat aku mencintai, takkan pernah aku menyatakan. Yang aku lakukan hanyalah diam. Aku tahu, cinta adalah fitrah, sebuah anugrah tak terperih. Karena cinta adalah kehidupan. Karena rasa itu adalah cahaya. Aku tahu, hidup tanpa cinta, bagaikan hidup dalam gelap gulita. Namun, saat rasa itu menyapa, maka hadapi dengan anggun. Cinta terkadang membuatmu bahagia, namun tak jarang membuatmu menderita. Cinta ada kalanya manis bagaikan gula, namun juga mampu memberi pahit yang sangat getir. Cinta adalah perangkap rasa. Sekali kamu salah berlaku, maka kamu akan terkungkung dalam waktu yang lama dalam lingkaran derita”.
Sembari membenarkkan jilbab Aisyah “Maka Aisyah, Agar kamu dapat keluar dari belenggu itu. Dan mampu melaluinya dengan anggun. Maka mencintailah dalam hening, dalam diam. Tak perlu kamu lari, tak perlu kamu hindari. Namun juga, jangan kamu sikapi dengan berlebihan. Jangan kamu umbar rasamu. Jangan kamu tumpahkan segala sukamu. Cobalah merenung sejenak dan fikirkan dengan tenang. Kita percaya takdir bukan ? Kita tahu dengan sangat jelas Dia, Allah telah mengatur segalanya dengan begitu rapinya ? Jadi, apa yang kamu risaukan? Biarkan Allah yg mengaturnya. Dan yakinlah di tangan-Nya semua akan baik-baik saja”.
“Aisyah, mencintai dalam diam itu ibarat kita ingin memuliakan orang yang kita cintai hingga Allah mempertemukan dalam ikatan yang halal.”
“Apakah aku bisa mencintai dalam diam, Mbak ?”
“Aisyah, yang kamu butuhkan hanya waktu, sabar dan percaya. Maka, peganglah kendali hatimu, Lalu arahkan pada Nya. Dan cintailah dalam diam. Seperti bunga Akasia yang mencintai dalam diam”.
Bismillah. Semoga aku bisa Mbak”
“Baca buku ini, Judulnya Seindah Bunga Akasia. Karya Muhammad R.S. Penulis dari Indonesia. Semua tentang cara mencintai yang selayaknya bagi seorang muslim dijelaskan di buku ini.” Mbak Ellena memberikan sebuah buku kepadanya.
“Fokuslah pada ujianmu. Ingat ada Umi dan adekmu, Naila yang sangat merindukan kepulanganmu di Bengkulu. Cepat lulus biar cepat pulang dan bisa mengurus Umi.” Tambah Mbak Ellena
            Setelah mendapat nasehat dari Mbak Ellena,  Ia berusaha menghilangkan bayang Rangga dan fokus untuk sidangnya. Ia percaya bahwa seseorang yang baik telah dituliskan bersama namanya di Lauhul Mahfuzh. Ia hanya bisa berprasangka baik, jika memang cinta dalam diamnya tidak memiliki kesempatan berbicara di dunia nyata maka biarlah hanya menjadi memori tersendiri di sudut hatinya. Karena sesunggunya Allah maha mengetahui setiap hati umat-Nya. Jika cintanya terhadap Rangga bukan untuk di miliki, maka Allah akan menghapus cinta dalam diamnya dan mengganti cintanya dengan yang jauh lebih baik.
Hari yang telah lama ditunggu akhirnya datang. Selama tiga hari, Ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi satu hari spesial ini “Semoga sidang ku berjalan lancar, ya Allah.”
Waktu terus berjalan. Menit demi menit dan akhirnya jam demi jam pun berlalu. Ia melangkah keluar dari ruang sidang. Matanya basah, "Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetaui. Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahwa tiada prestasi yang lebih tinggi dari diterimanya amal saleh oleh Allah dan dibalas dengan keridhaan-Nya. Akhirnya hari itu, Ia telah lulus S-1. Menjadi lulusan S-1 Al Azhar. Lulus dengan predikat “JAYYID”.
Hand phone-nya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Mbak Ellena. Ia buka pesan yang masuk :
"Assalamualaikum. Aisyah, segeralah pulang ke Indonesia. Keadaan Ibu mu semakin memburuk, sekarang Ia dirawat di rumah sakit Rafflesia, Bengkulu. Mbak baru medapatkan kabarnya dari Naila."
Ia tertegun sesaat, rasa bahagianya seketika berubah haluan menjadi kesedihan. Padahal, Ia ingin langsung memberikan kabar kelulusannya kepada Umi dan Naila yang ada di Indonesia. Tetapi sebaliknya, Ia malah mendapat kan kabar tentang keadaan Umi yang kembali memburuk.
Jilbab putih panjang yang menutupi jubah biru lautnya melambai mengikuti langkah kakinya. Ia berlarian tak karuan mencari tiket untuk penerbangan tercepat Ke Indonesia. Tak sempat lagi untuknya bertemu dengan teman-teman dan mengabarkan tentang hasil ujiannya, yang terpikirkan hanyalah pulang dan segera kerumah sakit. “Umi, lindungilah umi ya Allah”
Perjalanan pulang ke Indonesia memakan waktu yang cukup lama, sekitar 11 jam 15 menit tanpa transit. Dari Jakarta, Ia langsung memesan penerbangan ke Bengkulu.
Rumah Sakit Rafflesia terlihat sepi dan sunyi. Namun tiba-tiba terdengar suara tangis yang menusuk telinganya. Ia seperti mengenal suara tangis itu. Langkah kakinya semakin cepat menerobos masuk melewati lorong-lorong rumah sakit. “Naila, Kenapa kamu menangis seperti ini ?“. Ia terpaku sejenak melihat kearah Naila. Dadanya terasa sesak seketika. Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju tempat tidur yang ada didepannya. Terlihat sosok yang sangat dicintainya terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Tiada ada gerakan lagi dari tubuhnya. Kedua matanya sudah tertutup rapat. Tiada ada nafas yang berhembus lagi, Bahkan tubuhnya telah terasa dingin dan kaku “Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Allahumma jurnii fii mushibatii wakhluflii khairan minhaa. Sesungguhnya kami milik Allah, kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku lantaran musibah yang menimpaku ini dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang lebih baik dari musibah ini. Kecuali Allah akan memberinya pahala lantaran musibahnya dan akan mengganti musibahnya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”
Kini tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menangis memohon belas kasih-Nya, dan dengan segenap jiwa, Ia pasrah dalam genggaman kekuasaan-Nya. Ia hanya bisa bersabar dan ikhlas dengan semua yang terjadi.
Setelah mengurus jenazah Umi dan mendoakan Umi, Ia berusaha menghilangkan kesedihan Naila. Masa-masa kesedihan perlahan berjalan apa adanya. Dalam hitungan hari semuanya kembali seperti biasanya. Meski masih menggoreskan sedih namun tak selayaknya berlarut dalam duka. Ia tahu betul bagaimana caranya menyikapi kesedihan yang sedang dijalaninya. Ia selalu mengingatkan Naila, bahwa jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Sesungguhnya semua manusia juga akan mati nantinya. “Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Umi, dan ingat kita harus buat Umi bangga. Jadi jangan sedih-sedih lagi. Belajar yang rajin agar bisa dapat beasiswa seperti Mbak” ucapnya untuk menguatkan Naila.
“Iya, Mbak. Mbak tidak kembali ke Cairo lagi ?”
Insya Allah, Minggu depan. Tapi tenang, Mbak tidak akan lama kok. Alhamdulillah Mbak sudah lulus. Jadi tinggal mengurus beberapa berkas dan wisuda”
Alhamdulillah. Benarkah Mbak ?. Kok Mbak tidak cerita kalo Mbak sudah lulus ?”
Ia hanya tersenyum membalas pertanyaan Naila.
Ia tak berlama-lama di Cairo. Ia langsung pulang ke Indonesia setelah mengucapkan perpisahan kepada teman-teman mahasiswinya dan dosen-dosennya serta berterimakasih kepada Mbak Ellena yang sudah membantunya sejak pertama kali datang ke Al Azhar.
Setelah pulang ke Indonesia, dan dinyatakan sebagai lulusan Al Azhar di Cairo Ia langsung memutuskan mencari pekerjaan. Tidak memakan waktu yang lama akhirnya, Ia diterima di sebuah sekolah swasta di Bengkulu sebagai tenaga pengajar disana.
Asslamualaikum Warohamtulahi Wabarokatuh” Suara yang tak asing terdengar dari arah belakangnya. Ia yang sedang membersihkan halaman rumahnya, hanya terdiam melihat sosok yang datang pagi itu. Hitungan detik setelah menoleh kearah asal suara, pandangan langsung jatuh menunduk kebawah seolah takut melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat oleh kedua matanya.
Tanpa ada angin dan hujan. Sebuah alasan tersembunyi datang dan bertanya dalam benaknya. Apa alasan kedatangan lelaki itu kerumahnya. Rangga Saputra lelaki yang dulu pernah dicintainya. “Apa yang dia lakukan disini ?. apa dia sudah pulang dari Alexandria ?” tanyanya dalam hati.
 Waalaikumsalam Warohmatulahi Wabarokatuh. Afwan, ada keperluan apa datang sepagi ini ?” ungkapnya setelah beberapa detik terdiam.
“Maaf, sebelumnya jika kedatanganku mengganggu. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Mbak mu, Ellena di Cairo. Aku dengar darinya kamu sudah lulus dan sudah pulang ke Indonesia. Sebenarnya saat kita bertemu di Cairo, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Hanya saja terbesit ketakutan sehingga tidak sempat untuk mengatakannya”
“Apa yang ingin kamu sampaikan ?”
“Sebenarnya tak selayaknya hal ini aku sampaikan langsung kepadamu, tapi lebih baik dikatakan saja sekarang tidak baik untuk menunda-nundanya lagi”.
Aisyah semakin merasa penasaran. “katakanlah” pandangannya pun masih tetap tertunduk.
“aku rasa sudah waktunya Bunga Akasia ini untuk mekar” pandangan Rangga menunduk sesaat. “Akasia yang sudah lama terjaga selama empat tahun” tambah Rangga.
Aisyah teringat kembali tentang kata-kata yang pernah dikatakan Mbak Ellena, tentang Akasia yang mencintai dalam diam. “Seindah Bunga Akasia ?” gumamnya spontan saat mendengar kata-kata akasia.
“Seindah Bunga Akasia ?. Itu seperti judul buku yang pernah aku tulis”
Muhammad R.S kah ?”
“Iya, itu nama penaku. Apakah kamu pernah membacanya ?”
“Hanya pernah mendengarnya saja. Terus ?”
“Mmm, begini. Apakah sudah ada yang mengkhitbah mu ?”
Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan “Belum.” Jawab Aisyah dengan pelan.
Rangga begitu gugup, pandangannya seakan mengikuti Aisyah yang tertunduk takut melihat kearahnya
“Apakah harus saling menunggu lagi ya ? kenapa kamu tidak langsung menjadikan ku yang halal untumu sekarang ?” ucapnya
“Menikah sekarang ?” tanya Rangga.
“KUA sebentar lagi buka. Insya Allah, restu Abi dan Umi ku selalu menyertaiku”
Rangga tau benar apa yang sudah dilalui Aisyah beberapa bulan ini, bahkan tentang Umi dan Abinya pun Ia sudah tau banyak dari Mbak Ellena.
Rangga terlihat bingung dengan apa yang harus Ia katakan. “ Bismillah, kak !” teriak Naila yang datang dan memecahkan suasana yang terasa semakin kaku.
“Iya, Bismillah. Jika memang kedatanganmu kesini ingin menikahi ku dan menjadikan ku yang halal untukmu. Maka jadikanlah aku Akasia yang terindah itu sekarang. Aku tak butuh syarat apapun untuk kamu penuhi”
“Maukah kamu menikah dengan ku ?”
“Iya. Insya Allah” Jawab Aisyah mantap. “KUA !. KUA !.” teriak Naila.
Kumandang lantunan janji setia bergema dalam balutan tasbih-tasbih cinta. Dengan ungkapan “Qiiiltu nikahaha. .”. dan ucapan sah dari Saksi, Prosesi akad nikah sederhana terlaksana dengan begitu indahnya. Sungguh tiada keindahan yang bisa mengalahkan bersatunya dua hati dalam jalinan  ridho dari Sang Pemilik Cinta, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah telah mengatur segalanya dengan begitu rapinya. Ketika cinta diarahkan seutuhnya kepada-Nya dan mengikhlaskan kepergian cinta. Maka, Allah akan hadirkan kembali cinta itu dalam bentuk yang lebih sempurna dimana cinta itu akan hadir diwaktu yang tepat. Dan sekarang, 20 Januari 2016 adalah waktunya cinta Akasia itu bermekaran sempurna tak perlu menyembunyikan keindahannya lagi.

0 komentar:

Posting Komentar