Oleh : Pangeran
"Berjilbab tidak menghilangkan kecantikan, tetapi justru
menjaga kecantikan yang seharusnya dijaga" Ungkap Aisyah.
"Tapi Mbak, nanti kalo aku pake jilbab teman-teman malah
bilang sok alim dan mengolok-olok ku. lagi pula sifat dan tingkah lakukan harus
dijaga dulu sebelum memakai jilbab, disesuaikan dan itu butuh waktu lama. Nanti
saja Mbak pake jilbabnya kalo udah punya suami" ucap Naila sambil
tersenyum.
Aisyah menyodorkan
tanganya ke arah Naila, tampak di atas kedua tangan nya sebuah Jilbab merah
yang indah "Jika kamu berjilbab atau berhijab dan ada orang yang mempermasalahkan
akhlaqmu, maka katakan kepada mereka bahwa antara jilbab dan akhlaq adalah dua
hal yang berbeda, berjilbab adalah murni perintah Allah, wajib untuk wanita
muslim yang telah baligh tanpa memandang akhlaqnya baik atau buruk. Sedangkan akhlaq
adalah budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang
wanita berjilbab melakukan dosa atau pelanggaran itu bukan karena jilbabnya,
tetapi karena akhlaqnya. Yang berjilbab belum tentu berakhlaq mulia, tapi yang
berakhlaq mulia sudah pasti berjilbab”.
“Iya Mbak, akan aku coba. Aku senang banget
bisa belajar banyak tentang agama dari Mbak” Ucap Naila sambil tersenyum
“Iya, Naila. Oh iya, Mbak
besok pagi akan kembali ke Cairo. Jaga Umi ya. Langsung kasih kabar kalo ada
apa-apa. Insya Allah sebulan sekali
Mbak akan kasih kabar kerumah”
Nama lengkapnya adalah
Aisyah Syahada Aini. Ia kini sedang menempuh S-1 nya di Fakultas Dirasat
Islamiyah, Al Azhar University di Cairo. Ini adalah tahun terakhirnya. Beberapa
minggu ini Ia harus pulang ke Bengkulu, Indonesia lantaran kondisi Uminya yang
tiba-tiba memburuk dan harus dirawat di rumah sakit.
Semenjak wafatnya Abinya
tujuh tahun yang lalu, Uminya selalu bekerja keras banting tulang demi
menghidupi dan membiayai sekolah Aisyah dan adeknya, Naila. Alhamdulillah, Aisyah mendapatkan beasiswa
penuh di Al Azhar di Cairo.
Setelah keadaan Umi membaik,
Ia memutuskan untuk kembali ke Cairo.
Dimatanya, Pagi itu
kota Cairo terlihat begitu mempesona. Gedung-gedung dan menara-menara yang
tertata indah membuat Cairo yang dijuluki negeri seribu menara terasa begitu mengagumkan.
Beberapa minggu meninggalkan Cairo membuat Ia kembali kagum seperti pertama
kali datang untuk mengikuti imtihan
qabul atau ujian penerimaan di Al Azhar.
“Man jadda wajada.
Siapa yang besungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya.”
Gumamnya dalam hatinya. Dengan semangat yang luar biasa, Ia memulai kembali
mengerjakan skripsi yang tertunda beberapa minggu lalu karena kepulangannya ke
Indonesia. Setiap hari langkah kakinya selalu menuju ke perpustakaan Shalah
Kamil, membuka dan menganalisis ratusan referensi yang tersedia. Tidak hanya
itu setiap ahad, Ia selalu menyempatkan diri pergi ke Daarut Tauzi untuk membeli beberapa buku dan kitab.
Hari yang ditunggu
akhirnya datang. Mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar sudah terlihat sibuk melihat
daftar nama yang terpasang di papan pengumuman. Tak sedikit wajah kecewa yang
tampak oleh beberapa mahasiswi yang mulai menjauh dari papan pengumuman.
“Aisyah !!!”. “Aisyah
!!!” teriak salah satu mahasiswi yang berada dikerumunan.
“Mbak Ellena !!. Assalamualaikum”
“Waalikumsalam Warohmatulahi Wabarokatuh. Sudah beberapa minggu ini
aku tidak melihat wajah ceria Aisyah. Apa kabar Aisyah ?. Bagaimana keadaan Ibu
mu ?”
“Alhamdulillah baik Mbak El. Sekarang keadaan Umi sudah baik. Umi
hanya terlalu kelelahan saja kok”
“Syukurlah kalo begitu.
Semangat ya Aisyah, akhirnya proposal skripsimu diterima. Tahun ini harus
selesai kuliahnya ya.”
“Benarkah Mbak ?. Mbak
tau dari mana ?” matanya mulai terpaku membisu seolah tak percaya dengan apa
yang disampaikan Mbak Ellena.
Ia berlarian kecil
menuju papan pengumuman yang berada beberapa meter didepannya. Rasa penasaran
membuatnya memastikan apa yang didengarnya dari Mbak Ellena. “Subhaana Rabbiyal
a'la wa bihamdih.” Ia bertasbih. Proposal skripsinya langsung diterima
tanpa menunggu waktu yang lama. Hanya satu minggu saja sejak proposal skripsinya
itu diajukan.
Beberapa
bulan ini, Ia berusaha keras untuk memperjuangkan skripsinya. Perbaikan demi
perbaikan dilakukannya. Berbagai ketakutan-ketakutan yang muncul akhirnya
dihadapinya dan perlahan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga akhinya pada
minggu depannya, Ia dipanggil untuk melaksanakan sidang.
Ia menjadi salah satu
mahasiswi yang tercepat dalam menyelesaikan skripsinya ketahap akhir yaitu
sidang. Kerja kerasnya bolak-balik keperpustakaan dan mencari
referensi-referensi akhirnya terbayarkan dengan hasil yang sesuai. Gerbang
menjadi lulusan Al Azhar akan segera Ia lewati.
Kumandang azan subuh saling
bergema dilangit Cairo. Satu persatu menara mesjid mengumandangkan azan seakan
memecah hening yang masih tergambar dipelupuk mata Aisyah. Dengan matanya yang
masih mengantuk, Ia berusaha bangun dan melaksanakan shalat. Selesai shalat Ia
langsung berdiri dan mengusir kantuknya. Ia hampir lupa bahwa hari ini akan
menemani Mbak Ellena dan Alesha, salah satu temannya untuk mengelilingi kota
Cairo.
Pagi itu mereka
memutuskan untuk pergi ke Hadiqah
Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr city yang berada di Cairo. Mereka pergi
dengan menaiki bus yang mengarah menuju pusat kota. Bus terus berjalan. Aisyah
terlihat begitu senang, ini pertama kalinya Ia jalan-jalan keluar mengelilingi
Cairo bersama Mbak Ellena dan Alesha.
“Assalamualaikum. Maaf, kamu dari Indonesia ya ?“ Ia mendengar suara
pelan dari belakangnya.
“Iya benar. kamu juga
dari Indonesia?” Jawabnya tenang. Ia menoleh melihat kearah seorang lelaki yang
berada dibelakang tempat duduknya. Sekilas Ia merasa takut, karena lelaki yang
sedang berbicara dengannya adalah lelaki yang Ia kenal.
“Iya. Maaf, kalau boleh
tanya toko buku Dar El Salam itu di mana ya?"
“Sebenarnya, kami juga
akan kesana” Jawab Mbak Ellena yang memperhatikan dan mendengar percakapan
antara Aisyah dan lelaki itu.
“Alhamdulillah, kalau begitu bolehkah aku ikut kesana ?. Hanya
sebatas mengatar kan ke Dar El Salam”
“Iya, boleh” jawab Mbak
Ellena.
“Syukran, ya.”
Setelah empat tahun tidak bertemu akhirnya Ia
bertemu kembali dengan lelaki yang pernah dikaguminya. Nama lelaki itu Rangga
Saputra. Rangga berasal dari Indonesia. Ia mengenal Rangga saat di Madrasah
Aliyah. Rangga dikenalnya sebagai lelaki yang jujur, ramah, dan pekerja keras. Tidak
seperti dirinya yang datang ke Cairo untuk kuliah, Rangga datang jauh dari
IndonesIa hanya untuk bekerja dan membiayai adek perempuannya untuk menempuh
S-1 di Alexandria University. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, Rangga
menjadi tulang punggung untuk adeknya.
Setelah pulang dari Hadiqah Dauliyah pikirannya dipenuhi
dengan berjuta tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dengannya hari itu.
Bayang wajah seseorang yang telah lama tak dilihatnya mulai memenuhi kedipan
kedua matanya. Perasaan takut mulai menyetuh hatinya. Ia sangat takut pada
kenyataan yang mulai terlukis didalam jiwanya. Ia tau perasaan yang muncul ini
tidak layak untuk tumbuh. Bahkan memendamnya juga tak pantas. Betapa takutnya
memiliki perasaan yang tidak seharusnya, bahkan setiap langkah nya sekarang Ia
selalu terbayang akan wajah Rangga. Kali ini keteguhan hatinya mulai memudar.
Mbak Ellena yang melihat tingkah Aisyah yang sering
tersenyum dan bahkan sering hilang fokus saat melakukan sesuatu mulai mencari
tau asal penyebabnya , “Asiyah, apa yang sedang terbesit dalam hati dan pikiran
mu saat ini ?. Apakah kamu memikirkan lelaki yang bertemu dengan kita di bus
saat mengelilingi Cairo ?. Lelaki yang di Dar El Salam ” tebak Mbak
Ellena.
“Iya, Mbak. Entah apa yang sekarang
sedang aku lakukan, aku selalu memikirkan tentangnya. Bahkan sekarang, saat
shalat aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat berdoa pun aku juga
mengingat dirinya. Pokonya setiap aku mau melakukan sesuatu selalu bayang
wajahnya muncul didalam pikiranku.” Ucapnya sambil mengambil mushaf yang ada dekat tempat duduknya.
“Apakah lelaki itu Rangga ?. Lelaki
yang pernah Aisyah ceritakan waktu pertama kali datang ke Al Azhar ?”
Ia hanya mengangguk malu.
"Aisyah,
maukah ku beritahukan padamu bagaimana mencintai dengan indah? " ucap Mbak
Ellena. “Maka dengarlah. Aisyah, Saat aku jatuh cinta. Tak akan aku berucap.
Tak akan aku berkata. Namun aku hanya akan diam. Saat aku mencintai, takkan
pernah aku menyatakan. Yang aku lakukan hanyalah diam. Aku tahu, cinta adalah
fitrah, sebuah anugrah tak terperih. Karena cinta adalah kehidupan. Karena rasa
itu adalah cahaya. Aku tahu, hidup tanpa cinta, bagaikan hidup dalam gelap
gulita. Namun, saat rasa itu menyapa, maka hadapi dengan anggun. Cinta
terkadang membuatmu bahagia, namun tak jarang membuatmu menderita. Cinta ada
kalanya manis bagaikan gula, namun juga mampu memberi pahit yang sangat getir.
Cinta adalah perangkap rasa. Sekali kamu salah berlaku, maka kamu akan
terkungkung dalam waktu yang lama dalam lingkaran derita”.
Sembari membenarkkan jilbab Aisyah “Maka
Aisyah, Agar kamu dapat keluar dari belenggu itu. Dan mampu melaluinya dengan
anggun. Maka mencintailah dalam hening, dalam diam. Tak perlu kamu lari, tak
perlu kamu hindari. Namun juga, jangan kamu sikapi dengan berlebihan. Jangan
kamu umbar rasamu. Jangan kamu tumpahkan segala sukamu. Cobalah merenung
sejenak dan fikirkan dengan tenang. Kita percaya takdir bukan ? Kita tahu
dengan sangat jelas Dia, Allah telah mengatur segalanya dengan begitu rapinya ?
Jadi, apa yang kamu risaukan? Biarkan Allah yg mengaturnya. Dan yakinlah di
tangan-Nya semua akan baik-baik saja”.
“Aisyah, mencintai dalam diam itu ibarat kita ingin memuliakan orang
yang kita cintai hingga Allah mempertemukan dalam ikatan yang halal.”
“Apakah aku bisa mencintai dalam diam, Mbak ?”
“Aisyah, yang kamu butuhkan hanya waktu, sabar dan percaya. Maka,
peganglah kendali hatimu, Lalu arahkan pada Nya. Dan cintailah dalam diam. Seperti
bunga Akasia yang mencintai dalam diam”.
“Bismillah. Semoga aku bisa
Mbak”
“Baca buku ini, Judulnya Seindah Bunga Akasia. Karya Muhammad R.S. Penulis
dari Indonesia. Semua tentang cara mencintai yang selayaknya bagi seorang
muslim dijelaskan di buku ini.” Mbak Ellena memberikan sebuah buku kepadanya.
“Fokuslah pada ujianmu. Ingat ada Umi dan adekmu, Naila yang sangat
merindukan kepulanganmu di Bengkulu. Cepat lulus biar cepat pulang dan bisa
mengurus Umi.” Tambah Mbak Ellena
Setelah
mendapat nasehat dari Mbak Ellena, Ia
berusaha menghilangkan bayang Rangga dan fokus untuk sidangnya. Ia percaya
bahwa seseorang yang baik telah dituliskan bersama namanya di Lauhul Mahfuzh. Ia hanya bisa
berprasangka baik, jika memang cinta dalam diamnya tidak memiliki kesempatan
berbicara di dunia nyata maka biarlah hanya menjadi memori tersendiri di sudut
hatinya. Karena sesunggunya Allah maha mengetahui setiap hati umat-Nya. Jika
cintanya terhadap Rangga bukan untuk di miliki, maka Allah akan menghapus cinta
dalam diamnya dan mengganti cintanya dengan yang jauh lebih baik.
Hari yang telah lama
ditunggu akhirnya datang. Selama tiga hari, Ia telah menyiapkan diri untuk
menghadapi satu hari spesial ini “Semoga sidang ku berjalan lancar, ya Allah.”
Waktu terus berjalan. Menit demi menit dan akhirnya
jam demi jam pun berlalu. Ia melangkah keluar dari ruang sidang. Matanya basah,
"Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan
terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetaui.
Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahwa tiada
prestasi yang lebih tinggi dari diterimanya amal saleh oleh Allah dan
dibalas dengan keridhaan-Nya. Akhirnya hari itu, Ia telah lulus S-1. Menjadi
lulusan S-1 Al Azhar. Lulus dengan predikat “JAYYID”.
Hand phone-nya
berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone,
dari Mbak Ellena. Ia buka pesan yang masuk :
"Assalamualaikum.
Aisyah, segeralah pulang ke Indonesia. Keadaan Ibu mu semakin memburuk,
sekarang Ia dirawat di rumah sakit Rafflesia, Bengkulu. Mbak baru medapatkan kabarnya
dari Naila."
Ia tertegun sesaat,
rasa bahagianya seketika berubah haluan menjadi kesedihan. Padahal, Ia ingin
langsung memberikan kabar kelulusannya kepada Umi dan Naila yang ada di Indonesia.
Tetapi sebaliknya, Ia malah mendapat kan kabar tentang keadaan Umi yang kembali
memburuk.
Jilbab putih
panjang yang menutupi jubah biru lautnya melambai mengikuti langkah kakinya. Ia
berlarian tak karuan mencari tiket untuk penerbangan tercepat Ke Indonesia. Tak
sempat lagi untuknya bertemu dengan teman-teman dan mengabarkan tentang hasil
ujiannya, yang terpikirkan hanyalah pulang dan segera kerumah sakit. “Umi,
lindungilah umi ya Allah”
Perjalanan pulang
ke Indonesia memakan waktu yang cukup lama, sekitar 11 jam 15 menit tanpa
transit. Dari Jakarta, Ia langsung memesan penerbangan ke Bengkulu.
Rumah Sakit
Rafflesia terlihat sepi dan sunyi. Namun tiba-tiba terdengar suara tangis yang
menusuk telinganya. Ia seperti mengenal suara tangis itu. Langkah kakinya
semakin cepat menerobos masuk melewati lorong-lorong rumah sakit. “Naila,
Kenapa kamu menangis seperti ini ?“. Ia terpaku sejenak melihat kearah Naila. Dadanya
terasa sesak seketika. Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju tempat tidur
yang ada didepannya. Terlihat sosok yang sangat dicintainya terbaring tak
berdaya di atas tempat tidur. Tiada ada gerakan lagi dari tubuhnya. Kedua
matanya sudah tertutup rapat. Tiada ada nafas yang berhembus lagi, Bahkan
tubuhnya telah terasa dingin dan kaku “Innaa
lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Allahumma jurnii fii mushibatii wakhluflii
khairan minhaa. Sesungguhnya
kami milik Allah, kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku
lantaran musibah yang menimpaku ini dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang
lebih baik dari musibah ini. Kecuali Allah akan memberinya pahala lantaran
musibahnya dan akan mengganti musibahnya dengan sesuatu yang lebih baik
darinya.”
Kini tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menangis
memohon belas kasih-Nya, dan dengan segenap jiwa, Ia pasrah dalam genggaman
kekuasaan-Nya. Ia hanya bisa bersabar dan ikhlas dengan semua yang terjadi.
Setelah mengurus jenazah Umi dan mendoakan Umi, Ia
berusaha menghilangkan kesedihan Naila. Masa-masa kesedihan perlahan berjalan
apa adanya. Dalam hitungan hari semuanya kembali seperti biasanya. Meski masih
menggoreskan sedih namun tak selayaknya berlarut dalam duka. Ia tahu betul
bagaimana caranya menyikapi kesedihan yang sedang dijalaninya. Ia selalu
mengingatkan Naila, bahwa jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan.
Sesungguhnya semua manusia juga akan mati nantinya. “Kita hanya bisa berdoa
yang terbaik untuk Umi, dan ingat kita harus buat Umi bangga. Jadi jangan
sedih-sedih lagi. Belajar yang rajin agar bisa dapat beasiswa seperti Mbak”
ucapnya untuk menguatkan Naila.
“Iya, Mbak. Mbak tidak kembali ke Cairo lagi ?”
“Insya Allah,
Minggu depan. Tapi tenang, Mbak tidak akan lama kok. Alhamdulillah Mbak sudah lulus. Jadi tinggal mengurus beberapa
berkas dan wisuda”
“Alhamdulillah.
Benarkah Mbak ?. Kok Mbak tidak cerita kalo Mbak sudah lulus ?”
Ia hanya tersenyum membalas pertanyaan Naila.
Ia tak berlama-lama di Cairo. Ia langsung pulang ke
Indonesia setelah mengucapkan perpisahan kepada teman-teman mahasiswinya dan
dosen-dosennya serta berterimakasih kepada Mbak Ellena yang sudah membantunya
sejak pertama kali datang ke Al Azhar.
Setelah pulang ke Indonesia, dan dinyatakan sebagai
lulusan Al Azhar di Cairo Ia langsung memutuskan mencari pekerjaan. Tidak
memakan waktu yang lama akhirnya, Ia diterima di sebuah sekolah swasta di
Bengkulu sebagai tenaga pengajar disana.
“Asslamualaikum
Warohamtulahi Wabarokatuh” Suara yang tak asing terdengar dari arah
belakangnya. Ia yang sedang membersihkan halaman rumahnya, hanya terdiam
melihat sosok yang datang pagi itu. Hitungan detik setelah menoleh kearah asal
suara, pandangan langsung jatuh menunduk kebawah seolah takut melihat sesuatu
yang tak seharusnya dilihat oleh kedua matanya.
Tanpa ada angin dan hujan. Sebuah alasan tersembunyi
datang dan bertanya dalam benaknya. Apa alasan kedatangan lelaki itu kerumahnya.
Rangga Saputra lelaki yang dulu pernah dicintainya. “Apa yang dia lakukan
disini ?. apa dia sudah pulang dari Alexandria ?” tanyanya dalam hati.
“Waalaikumsalam Warohmatulahi Wabarokatuh.
Afwan, ada keperluan apa datang sepagi ini ?” ungkapnya setelah beberapa
detik terdiam.
“Maaf, sebelumnya jika kedatanganku mengganggu.
Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Mbak mu, Ellena di Cairo. Aku dengar
darinya kamu sudah lulus dan sudah pulang ke Indonesia. Sebenarnya saat kita
bertemu di Cairo, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Hanya saja terbesit
ketakutan sehingga tidak sempat untuk mengatakannya”
“Apa yang ingin kamu sampaikan ?”
“Sebenarnya tak selayaknya hal ini aku sampaikan
langsung kepadamu, tapi lebih baik dikatakan saja sekarang tidak baik untuk
menunda-nundanya lagi”.
Aisyah semakin merasa penasaran. “katakanlah”
pandangannya pun masih tetap tertunduk.
“aku rasa sudah waktunya Bunga Akasia ini untuk
mekar” pandangan Rangga menunduk sesaat. “Akasia yang sudah lama terjaga selama
empat tahun” tambah Rangga.
Aisyah teringat kembali tentang kata-kata yang
pernah dikatakan Mbak Ellena, tentang Akasia yang mencintai dalam diam.
“Seindah Bunga Akasia ?” gumamnya spontan saat mendengar kata-kata akasia.
“Seindah Bunga Akasia ?. Itu seperti judul buku yang
pernah aku tulis”
“Muhammad
R.S kah ?”
“Iya, itu nama penaku. Apakah kamu pernah membacanya
?”
“Hanya pernah mendengarnya saja. Terus ?”
“Mmm, begini. Apakah sudah ada yang mengkhitbah mu
?”
Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan “Belum.”
Jawab Aisyah dengan pelan.
Rangga begitu gugup, pandangannya seakan mengikuti Aisyah
yang tertunduk takut melihat kearahnya
“Apakah harus saling menunggu lagi ya ? kenapa kamu
tidak langsung menjadikan ku yang halal untumu sekarang ?” ucapnya
“Menikah sekarang ?” tanya Rangga.
“KUA sebentar lagi buka. Insya Allah, restu Abi dan Umi ku selalu menyertaiku”
Rangga tau benar apa yang sudah dilalui Aisyah
beberapa bulan ini, bahkan tentang Umi dan Abinya pun Ia sudah tau banyak dari
Mbak Ellena.
Rangga terlihat bingung dengan apa yang harus Ia
katakan. “ Bismillah, kak !” teriak
Naila yang datang dan memecahkan suasana yang terasa semakin kaku.
“Iya, Bismillah.
Jika memang kedatanganmu kesini ingin menikahi ku dan menjadikan ku yang halal
untukmu. Maka jadikanlah aku Akasia yang terindah itu sekarang. Aku tak butuh
syarat apapun untuk kamu penuhi”
“Maukah kamu menikah dengan ku ?”
“Iya. Insya
Allah” Jawab Aisyah mantap. “KUA !. KUA !.” teriak Naila.
Kumandang lantunan janji setia bergema dalam balutan
tasbih-tasbih cinta. Dengan ungkapan “Qiiiltu nikahaha. .”. dan ucapan sah dari Saksi, Prosesi akad
nikah sederhana terlaksana dengan begitu indahnya. Sungguh tiada keindahan yang
bisa mengalahkan bersatunya dua hati dalam jalinan ridho dari Sang Pemilik Cinta, Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Allah telah
mengatur segalanya dengan begitu rapinya. Ketika cinta diarahkan seutuhnya
kepada-Nya dan mengikhlaskan kepergian cinta. Maka, Allah akan hadirkan kembali
cinta itu dalam bentuk yang lebih sempurna dimana cinta itu akan hadir diwaktu
yang tepat. Dan sekarang, 20 Januari 2016 adalah waktunya cinta Akasia itu
bermekaran sempurna tak perlu menyembunyikan keindahannya lagi.
0 komentar:
Posting Komentar